Selasa, 15 Desember 2015

2. Keselarasan Tata Kelola Teknologi Informasi Terhadap Bisnis / TI dalam Perusahaan.

Pengelolaan perusahaan yang baik menuntut diterapkannya Tata Kelola Perusahaan-Good Corporate Governance(GCG), dan keberhasilan penerapan GCG salah satunya adalah dengan dengan di tunjang Tata Kelola Teknologi  Informasi (IT Governance)  yang baik. Penerapan Tata Kelola Teknologi Informasi menuntut suatu keselarasan  antara  TI  (Teknologi  Informasi) itu  sendiri  dengan  proses bisnis  yang berjalan dalam perusahaan.
Untuk  mencapai  suatu  keefektifitasan  dan  keselarasan  antara  TI-Bisnis  diperlukan pemahaman secara mendalam mengenai proses  pengaturan  langkah strategik  dan operasional  daritata  kelola TI  secara  baik  dan  jelas  yang  disesuaikan  dengan penempatantata  kelola  TI  pada perusahaan yang  dibagi  menjadi  beberapa  kategori yaitu(N.Luftman, 2004):
·         Tata kelola berbasis pada struktur organisasi
·         Tata kelolaberbasis pada proses
·         Tata kelola berbasis pada hubungan antara manusia

Konsep Keselarasan TI - Bisnis dan Tata Kelola TI
Strategic  Alignment Model  (SAM) adalah salah satu teori yang membahas mengenai keselarasan TI-Bisnis yang dikembangkan Henderson dan Venkatraman (Steven De Haes,dk, 2010). SAM mengidentifikasikan 4 domain yaitu :
1.       Strategi Bisnis
2.       Strategi TI
3.       Infrastruktur Organisasi
4.       Infrastruktur TI

Isu  sentral  pada  teori  SAM  adalah  sebuah  organisasi  harus  secara  berkelanjutan mencari keselarasan  antara  4  domain  tersebut,  dengan  perhatian  khususuntuk langkah strategik  (hubungan  antara  strategi  dan  infrastruktur,  juga  antara TI  dan bisnis) dan integrasi fungsional (hubungan dari bisnis dan strategi TI serta bisnis dan infrastruktur TI). Model SAM digambarkan secara skematik sebagai berikut:



Dengan menggunakan Model SAM ini bisa ditentukan sebuah langkah-langkah strategik dan operasional perusahaan   yang   disesuaikan   dengan   proses   bisnis perusahaan,  yang juga memberikan penilaian terhadap level kematangan keselarasan TI-Bisnis perusahaan.

Mengukur  level kematangan keselarasan TI-Bisnis perusahaan
Untuk dapat mengukur keselarasan dan kematangan TI-Bisnis, organisasi/perusahaan dapat menggunakan SLA(Service Level Agreements). Ini adalah metode scoring yang memungkinkan organisasi untuk kelas tingkat maturity(kematangan) dari tidak ada (0) untuk dioptimalkan (5). Alat ini menawarkan cara yang mudah dipahami untuk menentukan “sebagaimana adanya” dan “menjadi” posisi dan memungkinkan organisasi untuk patokan diri terhadap praktek-praktek terbaik dan pedoman standar(Rian, 2014).
Luftman mendefinisikan lima tingkat kematangan menggunakan kriteria dan atribut yang dijelaskan dalam dua kolom pertama dari angka 6. Dua kolom terakhir menunjukkan karakteristik atau nilai-nilai setiap atribut untuk mendapatkan tingkat 1 atau tingkat 5. Ketika melakukan penilaian kematangan, penting untuk mematuhi prinsip-prinsip dasar pengukuran kematangan. Satu dapat pindah ke maturity yang lebih tinggi hanya ketika semua kondisi yang dijelaskan dalam tingkat kematangan tertentu terpenuhi. Ini berarti bahwa untuk mendapatkan tingkat kematangan 5, semua atribut harus memiliki nilai-nilai yang dijelaskan dalam kolom terakhir dari angka 6.
COBIT Manajemen Pedoman meliputi maturity model untuk masing-masing 34 proses TI. Proses pertama kali diidentifikasi oleh COBIT adalah “menentukan rencana teknologi informasi strategis.” Proses ini memainkan peran yang sangat penting dalam keselarasan strategis. Dalam COBIT sendiri terdapat 6 tingkat(0-5) kematangan yang dijelaskan sebagai berikut :
1.       Level 0 (Non-existent)
Perusahaan tidak mengetahui sama sekali proses teknologi informasi di perusahaannya.
2.       Level 1 (Initial Level)
Pada level ini, organisasi pada umumnya tidak menyediakan lingkungan yang stabil untuk mengembangkan suatu produk baru. Ketika suatu organisasi kelihatannya mengalami kekurangan pengalaman manajemen, keuntungan dari mengintegrasikan pengembangan produk tidak dapat ditentukan dengan perencanaan yang tidak efektif, respon sistem. Proses pengembangan tidak dapat diprediksi dan tidak stabil, karena proses secara teratur berubah atau dimodifikasi selama pengerjaan berjalan beberapa form dari satu proyek ke proyek lain. Kinerja tergantung pada kemampuan individual atau term dan variasi dengan keahlian yang dimilikinya.
3.       Level 2 (Repeatable Level)
Pada level ini, kebijakan untuk mengatur pengembangan suatu proyek dan prosedur dalam mengimplementasikan kebijakan tersebut ditetapkan. Tingkat efektif suatu proses manajemen dalam mengembangankan proyek adalah institutionalized, dengan memungkinkan organisasi untuk mengulangi pengalaman yang berhasil dalam mengembangkan proyek sebelumnya, walaupun terdapat proses tertentu yang tidak sama. Tingkat efektif suatu proses mempunyai karakteristik seperti; practiced, dokumentasi, enforced, trained, measured, dan dapat ditingkatkan. Product requirement dan dokumentasi perancangan selalu dijaga agar dapat mencegah perubahan yang tidak diinginkan.
4.       Level 3 (Defined Level)
Pada level ini, proses standar dalam pengembangan suatu produk baru didokumentasikan, proses ini didasari pada proses pengembangan produk yang telah diintegrasikan. Proses-proses ini digunakan untuk membantu manejer, ketua tim dan anggota tim pengembangan sehingga bekerja dengan lebih efektif. Suatu proses yang telah didefenisikan dengan baik mempunyai karakteristik; readiness criteria, inputs, standar dan prosedur dalam mengerjakan suatu proyek, mekanisme verifikasi, output dan kriteria selesainya suatu proyek. Aturan dan tanggung jawab yang didefinisikan jelas dan dimengerti. Karena proses perangkat lunak didefinisikan dengan jelas, maka manajemen mempunyai pengatahuan yang baik mengenai kemajuan proyek tersebut. Biaya, jadwal dan kebutuhan proyek dalam pengawasan dan kualitas produk yang diawasi.
5.       Level 4 (Managed Level)
Pada level ini, organisasi membuat suatu matrik untuk suatu produk, proses dan pengukuran hasil. Proyek mempunyai kontrol terhadap produk dan proses untuk mengurangi variasi kinerja proses sehingga terdapat batasan yang dapat diterima. Resiko perpindahan teknologi produk, prores manufaktur, dan pasar harus diketahui dan diatur secara hati-hati. Proses pengembangan dapat ditentukan karena proses diukur dan dijalankan dengan limit yang dapat diukur.
6.       Level 5 (Optimized Level)
Pada level ini, seluruh organisasi difokuskan pada proses peningkatan secara terus-menerus. Teknologi informasi sudah digunakan terintegrasi untuk otomatisasi proses kerja dalam perusahaan, meningkatkan kualitas, efektifitas, serta kemampuan beradaptasi perusahaan. Tim pengembangan produk menganalisis kesalahan dan defects untuk menentukan penyebab kesalahannya. Proses pengembangan melakukan evaluasi untuk mencegah kesalahan yang telah diketahui dan defects agar tidak terjadi lagi (Staff Gunadarma, 2015).

Dengan melakukan proses penilaian dengan COBIT maturity model tersebut maka dapat diketahui sampai sejauh mana keselarasan Tata Kelola Teknologi Informasi (IT Governance) dengan TI-Bisnis yang berjalan dalam suatu perusahaan.Daftar Pustaka
N.LuftmanJerry, 2004, Managing the Information Technology Resource: Leadership in the
Information Age, 1st ed, Pearson Education, Inc.

Steven De Haes, Rogier Haest, Wim Van Grembergen, 2010,IT Governance and Business-IT Alignment
in SMEs, ISACA Journal, Volume 6

RIan, 2014, IT Governance dan Mekanismenya (Bagian 4-end), http://it.proxsisgroup.com/it
governance-dan-mekanismenya-bagian-4-end/

Staff Gunadarma, 2015, Bab 8 – COBIT, http://liapsa.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/33214/
Bab+8+-+COBIT.docx




0 komentar:

Posting Komentar