Pengelolaan perusahaan yang baik menuntut diterapkannya Tata Kelola
Perusahaan-Good Corporate Governance(GCG), dan keberhasilan penerapan GCG salah
satunya adalah dengan dengan di tunjang Tata Kelola Teknologi Informasi (IT Governance) yang baik. Penerapan Tata Kelola Teknologi
Informasi menuntut suatu keselarasan antara TI
(Teknologi Informasi) itu sendiri
dengan proses bisnis yang berjalan dalam perusahaan.
Untuk mencapai
suatu keefektifitasan dan
keselarasan antara TI-Bisnis
diperlukan pemahaman secara mendalam mengenai proses pengaturan
langkah strategik dan
operasional daritata kelola TI
secara baik dan
jelas yang disesuaikan
dengan penempatantata kelola TI
pada perusahaan yang dibagi menjadi
beberapa kategori
yaitu(N.Luftman, 2004):
·
Tata kelola berbasis pada
struktur organisasi
·
Tata kelolaberbasis pada proses
·
Tata kelola berbasis pada
hubungan antara manusia
Konsep Keselarasan TI - Bisnis dan Tata Kelola TI
Strategic Alignment Model (SAM) adalah salah satu teori yang membahas
mengenai keselarasan TI-Bisnis yang dikembangkan Henderson dan Venkatraman
(Steven De Haes,dk, 2010). SAM mengidentifikasikan 4 domain yaitu :
1.
Strategi Bisnis
2.
Strategi TI
3.
Infrastruktur Organisasi
4.
Infrastruktur TI
Isu sentral
pada teori SAM
adalah sebuah organisasi
harus secara berkelanjutan mencari keselarasan antara
4 domain tersebut, dengan
perhatian khususuntuk langkah
strategik (hubungan antara
strategi dan infrastruktur, juga
antara TI dan bisnis) dan
integrasi fungsional (hubungan dari bisnis dan strategi TI serta bisnis dan
infrastruktur TI). Model SAM digambarkan secara skematik sebagai berikut:
Dengan menggunakan
Model SAM ini bisa ditentukan sebuah langkah-langkah strategik dan operasional
perusahaan yang disesuaikan
dengan proses bisnis perusahaan, yang juga memberikan penilaian terhadap level
kematangan keselarasan TI-Bisnis perusahaan.
Mengukur level
kematangan keselarasan TI-Bisnis perusahaan
Untuk dapat
mengukur keselarasan dan kematangan TI-Bisnis, organisasi/perusahaan dapat
menggunakan SLA(Service Level Agreements). Ini adalah metode scoring yang
memungkinkan organisasi untuk kelas tingkat maturity(kematangan) dari tidak ada
(0) untuk dioptimalkan (5). Alat ini menawarkan cara yang mudah dipahami untuk
menentukan “sebagaimana adanya” dan “menjadi” posisi dan memungkinkan
organisasi untuk patokan diri terhadap praktek-praktek terbaik dan pedoman
standar(Rian, 2014).
Luftman
mendefinisikan lima tingkat kematangan menggunakan kriteria dan atribut yang
dijelaskan dalam dua kolom pertama dari angka 6. Dua kolom terakhir menunjukkan
karakteristik atau nilai-nilai setiap atribut untuk mendapatkan tingkat 1 atau
tingkat 5. Ketika melakukan penilaian kematangan, penting untuk mematuhi
prinsip-prinsip dasar pengukuran kematangan. Satu dapat pindah ke maturity yang
lebih tinggi hanya ketika semua kondisi yang dijelaskan dalam tingkat
kematangan tertentu terpenuhi. Ini berarti bahwa untuk mendapatkan tingkat
kematangan 5, semua atribut harus memiliki nilai-nilai yang dijelaskan dalam
kolom terakhir dari angka 6.
COBIT Manajemen
Pedoman meliputi maturity model untuk masing-masing 34 proses TI. Proses
pertama kali diidentifikasi oleh COBIT adalah “menentukan rencana teknologi
informasi strategis.” Proses ini memainkan peran yang sangat penting dalam
keselarasan strategis. Dalam COBIT sendiri terdapat 6 tingkat(0-5) kematangan
yang dijelaskan sebagai berikut :
1.
Level 0 (Non-existent)
Perusahaan tidak
mengetahui sama sekali proses teknologi informasi di perusahaannya.
2.
Level 1 (Initial Level)
Pada level ini,
organisasi pada umumnya tidak menyediakan lingkungan yang stabil untuk
mengembangkan suatu produk baru. Ketika suatu organisasi kelihatannya mengalami
kekurangan pengalaman manajemen, keuntungan dari mengintegrasikan pengembangan
produk tidak dapat ditentukan dengan perencanaan yang tidak efektif, respon sistem.
Proses pengembangan tidak dapat diprediksi dan tidak stabil, karena proses
secara teratur berubah atau dimodifikasi selama pengerjaan berjalan beberapa
form dari satu proyek ke proyek lain. Kinerja tergantung pada kemampuan
individual atau term dan variasi dengan keahlian yang dimilikinya.
3.
Level 2 (Repeatable Level)
Pada level ini,
kebijakan untuk mengatur pengembangan suatu proyek dan prosedur dalam
mengimplementasikan kebijakan tersebut ditetapkan. Tingkat efektif suatu proses
manajemen dalam mengembangankan proyek adalah institutionalized, dengan
memungkinkan organisasi untuk mengulangi pengalaman yang berhasil dalam
mengembangkan proyek sebelumnya, walaupun terdapat proses tertentu yang tidak
sama. Tingkat efektif suatu proses mempunyai karakteristik seperti; practiced,
dokumentasi, enforced, trained, measured, dan dapat ditingkatkan. Product
requirement dan dokumentasi perancangan selalu dijaga agar dapat mencegah
perubahan yang tidak diinginkan.
4.
Level 3 (Defined Level)
Pada level ini,
proses standar dalam pengembangan suatu produk baru didokumentasikan, proses
ini didasari pada proses pengembangan produk yang telah diintegrasikan.
Proses-proses ini digunakan untuk membantu manejer, ketua tim dan anggota tim
pengembangan sehingga bekerja dengan lebih efektif. Suatu proses yang telah
didefenisikan dengan baik mempunyai karakteristik; readiness criteria, inputs,
standar dan prosedur dalam mengerjakan suatu proyek, mekanisme verifikasi,
output dan kriteria selesainya suatu proyek. Aturan dan tanggung jawab yang
didefinisikan jelas dan dimengerti. Karena proses perangkat lunak didefinisikan
dengan jelas, maka manajemen mempunyai pengatahuan yang baik mengenai kemajuan
proyek tersebut. Biaya, jadwal dan kebutuhan proyek dalam pengawasan dan
kualitas produk yang diawasi.
5.
Level 4 (Managed Level)
Pada level ini,
organisasi membuat suatu matrik untuk suatu produk, proses dan pengukuran
hasil. Proyek mempunyai kontrol terhadap produk dan proses untuk mengurangi
variasi kinerja proses sehingga terdapat batasan yang dapat diterima. Resiko
perpindahan teknologi produk, prores manufaktur, dan pasar harus diketahui dan
diatur secara hati-hati. Proses pengembangan dapat ditentukan karena proses
diukur dan dijalankan dengan limit yang dapat diukur.
6.
Level 5 (Optimized Level)
Pada level ini,
seluruh organisasi difokuskan pada proses peningkatan secara terus-menerus.
Teknologi informasi sudah digunakan terintegrasi untuk otomatisasi proses kerja
dalam perusahaan, meningkatkan kualitas, efektifitas, serta kemampuan
beradaptasi perusahaan. Tim pengembangan produk menganalisis kesalahan dan
defects untuk menentukan penyebab kesalahannya. Proses pengembangan melakukan
evaluasi untuk mencegah kesalahan yang telah diketahui dan defects agar tidak
terjadi lagi (Staff Gunadarma, 2015).
Dengan melakukan
proses penilaian dengan COBIT maturity model tersebut maka dapat diketahui
sampai sejauh mana keselarasan Tata Kelola Teknologi Informasi (IT Governance)
dengan TI-Bisnis yang berjalan dalam suatu perusahaan.Daftar Pustaka
N.LuftmanJerry, 2004, Managing the Information Technology
Resource: Leadership in the
Information Age, 1st ed, Pearson Education, Inc.
Steven De Haes, Rogier
Haest, Wim Van Grembergen, 2010,IT
Governance and Business-IT Alignment
in SMEs, ISACA Journal, Volume 6
RIan, 2014, IT
Governance dan Mekanismenya (Bagian 4-end), http://it.proxsisgroup.com/it
governance-dan-mekanismenya-bagian-4-end/
Staff Gunadarma, 2015, Bab 8 – COBIT, http://liapsa.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/33214/
Bab+8+-+COBIT.docx
0 komentar:
Posting Komentar